BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ukhuwah (persaudaraan) Islam
merupakan salah satu kekuatan yang harus dibangun agar umat Islam mencapai
kemenangan dan menegakkan kedaulatannya. Di atas prinsip inilah Rasulullah
meyempurnakan shaff barisan kaum
muslimin setelah mendasarinya dengan aqidah yang bersih. Maka menciptakan
ukhuwah Islamiyah di dalam tubuh umat ini merupakan tujuan yang suci.
Pada hakikatnya ukhuwah Islamiyah
merupakan cahaya Robbani (Minhatun Robbaniyyah), nikmat dari Ilahi (Nikmatun
Ilahiyah) [QS 3:103], sekaligus bukti kekuatan keimanan (Quwwatun
Imaniyah) [QS 49:10] bagi orang-orang yang ikhlas (mukhlish) dan
terus-menerus menambah dan memperbaiki imannya.
Berdasar pada ketiga hal di atas,
sebuah hubungan persaudaraan akan membekas sampai ke hati yang paling dalam.
Bahkan akan mewarnai jiwa secara keseluruhan. Itulah yang disebut celupan
persaudaraan (ash-Shibgotul ikhowiyah) yang hanya dapat dibangun di atas
dasar keimanan yang dalam. Sehingga hubungan persaudaraan dan persahabatan akan
terjalin secara benar, jujur, dan ikhlas. Tanpa keterpaksaan apalagi
kesungkanan.
Karena sangat urgennya hakikat
persaudaraan sesama muslim, maka kita sebagai Mahasiswa apalagi Mahasiswa di
Perguruan Tinggi Islam Negeri, harus memahami dan mengerti hakikat dan sangat
urgennya persaudaraan sesama muslim. Maka kami selaku kelompok VII (tujuh)
tertarik untuk menuliskannya kedalam sebuah makalah yang berjudul “Hakekat
Persaudaraan Muslim” sekaligus untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Hadis
Tarbawi.
Semoga makalah kami yang berjudul
“Hakekat persaudaraan Muslim” dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi
para mahasiswa pada umumnya sehingga kita sebagai mahasiswa yang kuliah di
Perguruan Tinggi Islam dapat memahami hakikat persaudaraan muslim dan dapat
memberi penerangan kepada masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Apa hadis yang menegaskan kepada
kita untuk memelihara persaudaraan sesame muslim dan bagaimana sumber riwayat
dari hadis tersebut ?
2. Apa sebab dari munculnya hadis
tersebut ?
3. Bagaimana penjelasan secara singkat
dari hadis Nabi Muhammad Saw tersebut ?
4. Bagaimana hakekat persaudaraan
sesama muslim ?
5. Apasajakah hadis-hadis lain yang
menerangkan tentang persaudaraan sesama muslim ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Agar kita mengetahui hadis yang
menegaskan kepada kita untuk memelihara persaudaraan muslim dan sumber
riwayatnya.
2. Agar kita mengetahui sebab munculnya
hadis tersebut.
3. Agar kita mengetahui penjelasan dari
hadis Nabi Muhammad Saw tersebut.
4. Agar kita mengetahui hakekat
persaudaraan sesama muslim.
5. Agar kita mengetahui hadis-hadis
lain mengenai persaudaraan sesama muslim.
BAB
II
HAKEKAT
PERSAUDARAAN MUSLIM
“Diriwayatkan
dari suwaid ibn Hanzhalah, ia berkata, Rasulullah SAW. Bersabda: “Seorang
muslim adal ah bersaudara dengan sesame muslim lainnya.” (HR. Ibnu Majah).
A.
Sumber
Riwayat
Adapun sumber riwayat hadis tersebut yang langsung terlibat dan mendengar Nabi
Saw. Adalah Suwaid ibn Hanzhalah. Dia adalah seorang sahabat Nabi Saw. Yang
tinggal dan menetap di Kufah hingga wafat di sana. Oleh karena dia putera
kelahirah Kufah sehingga di belakang namanya di sebut al-Kufi. Suwaid al-Kufi
ini terlibat langsung dalam peristiwa yang menimpa salah seorang sahabat
sehingga Nabi Saw menyabdakan hadis tersebut di atas.[1]
B.
Asbab
al-Wurud
Adapun latar belakang yang menyebabkan lahirnya
hadis tersebut di atas adalah sebagaimana diriwayatkan Ibnu Majah dan Ahmad
yang bersumber dari Suwaid ibn Hanzhalah, katanya: “Kami keluar mencari dan
ingin menemui Rasulullah Saw. Kami membawa Wail ibn Hujr, lalu ia diserang oleh
musuhnya. Dan tidak seorangpun yangh berani bersumpah untuk membantu dan
membelanya, maka akulah yang bersumpah bahwa bahwa Wail ibn hujr itu adalah
saudaraku, sehingga orang yang menyerangnya itu meninggalkannya. Kemudian
setelah itu, datanglah Rasulullah Saw. Dan aku menceritakan kronologi itu
kepada beliau. Mendengar apa yang saya ceritakan itu, maka Rasulullah Saw.
Bersabda, engkau benar, seorang muslim itu adalah bersaudara dengan sesame
muslim lainnya.”[2]
C.
Fiqhul
Hadis[3]
Hadis tersebut, muatan dan pesan utamanya adalah
persaudaraan yang dilihat dari konteks historis sosialnya disabdakan Nabi Saw.
Sebagai respond an tanggapan terhadap sahabat yang membela dan membantu
saudaranya yang dianiyaya oleh musuhnya
atau orang lain. Maksudnya persaudaraan islam itu adalah hubungan dan interaksi
dengan pihak lain yang melahirkan semangat dan sikap peduli dan solidaritas
sosial kemanusiaan.
Dilihat dari penggunaan bahasa Arab, pengertian
dasar kata (akhun) sebagaimana
disebutkan dalam hadis di atas “Al
Muslimu akhul muslim” artinya adalah “saling
memperhatikan”. Maksudnya, orang yang merasa bersaudara, ia harus saling
memperhatikan antar sesama saudara. Kalau ada orang merasa bersaudara, tapi
tidak saling memperhatikan, malah justru saling bermusuhan, saling bertengkar,
saling menyekiti, ini adalah sikap dan tindakan yang justru menyalahi arti
hakikat persaudaraan. Hakekat persaudaraan dalam islam adalah saling
memperhatikan, dalam artian saling memahami, saling mengerti, saling membantu,
dan membela terhadap sesame sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah Saw.
Diatas yang disabdakan karena adanya sahabat yang membantu dan membela
saudaranya yang diserang atau dianiaya oleh orang lain. Sailng memperhatikan
boleh jadi karena didorong oleh adanya persamaan antar satu dengan yang
lainnya. Kalau kita mempunyai ayah dan ibu yang sama itu berarti bersaudara,
namanya saudara kandung atau seketurunan (QS.
An-Nisa’/4: 23). Kalau sama-sama bangsa Indonesia itu namanya bersaudara,
namanya saudara sebangsa (QS. Al-A’raf/7:
65). Begitu juga sama akidah dan agama, berarti saudara seiman dan seagama
(QS. Al-Hujurat/49: 10). Jadi, sebuah
persaudaraan dalam islam adalah persamaan dan persamaan inilah yang harus
mendorong kita untuk saling memperhatikan, saling mencintai, saling menolong
dan membela antar satu dengan yang lain serta tidak menyakiti dan menganiaya
antar sesame. Termasuk dalam hal jual beli sebagai salah satu bentuk yang
sangat mendasar dalam interaksi sosial dan hubungan persaudaraan harus
transparan, tidak boleh menjual sesuatu barang yang didalamnya ada kecacatan,
sebab hal itu akan merugikan dan menyakiti orang lain. Sebagaimana dinyatakan
dengan tegas dalam hadis lain yang juga diriwayatkan Ibnu Majah bersumber dari
Uqbah ibn Amir, Nabi Saw. Bersabda:
“Seorang muslim adalah bersaudara dengan sesamanya.
Tidak boleh bagi seorang muslim menjual sesuatu yang didalamnya ada cacat
kepada saudaranya kecuali ia menjelaskan kecacatannya.” (HR Ibnu Majah dari
Uqbah ibn Amir).
Demikian pula seluruh bentuk interaksi yang dapat
menganggu dan merusak hubungan persaudaraan adalah dilarang. Dalam hadis lain
diriwayatkan Tirmidzi bersumber dari Abu Hurairah, Nabi Saw. Menegaskan:
“Seorang muslim adalah bersaudara terhadap
sesamamnya muslim. Tidak boleh menghianatinya, tidak mendustakannya, tidak
meninggalkannya tanpa pertolongan. Setiap muslim terhadap saudaranya ialah
haram (menganggu) harta dan darahnya. Takwa itu disini (sambil menunjuk lkearah
dada beliau), yakni sesuai dengan kemampuan seseorang menahan kejahatannya
terhadap sesame saudaranya.”
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Bukhari bersumber
dari Abdullah bin Umar, Nabi Saw. Menegaskan:
“Seorang muslim itu adalah bersaudara terhadap
sesama muslim lainya. Dia tidak menganiaya dan tidak pula menyerahkannya
(kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan
memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan seorang muslim dari
kesulitannya, Allah kana melapangkan baginya suatu kesulitan pula dari
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya pada hari kiamat. Barangsiapa yang
menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya nanti pada hari kiamat
kelak.” (HR. Bukhari dari Abdullah ibn Umar).
Kalau ada orang menganggap dirinya berbeda dengan
orang lain dan perbedaan itu justru menjadikan atau menganggap dirinya besar
atau membesar-besarkan dirinya itulah yang di sebut takabbur. Sifat takabbur
ini sangat dilarang dalam ajaran islam, karena manusia pada hakekatnya tidak
punya kebesaran, yang punya kebesaran hanya Allah semata. Demikian juga karena
sifat takabbur akan menghancurkan identitas persamaan sebagai ini dari sebuah
persaudaraan, yang pada akhirnya akan dan menghancurkan hubungan persaudaraan.
Lain halnya, kalau perbedaan itu adalah sesuatu sesuatu yang memang sewajarnya
karena hal itu termasuk sunatullah. Perbedaan dalam konteks ini harus disikapi
dengan semangat toleransi. Salah satu cirri dan upaya menumbuhkan dan melestarikan
hubungan persaudaraan adalah dengan sikap toleransi terhadap perbedaan serta
menjadikan perbedaan itu untuk saling melengkapi dan menutupi kebutuhan dan
kekurangan.
Hubungan persaudaraan demikian dalam Islam lebih
ditegaskan dalam al-Qur’an.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah
bersaudara, karena itu damaikanlah antar kedua saudaramu.” (QS. Al-Hujurat
49:10)
Dalam ayat tersebut diperintahkan terhadap sesama
saudara mukmin agar selalu saling berbuat ishlah agar hubungan persaudaraan
terus terjalin dan terbina sehingga tetap utuh dan harmonis serta damai.
Pengertian ishlah ini tidak hanya sekedar dalam arti mendamaikan kedua belah
pihak. Akan tetapi, mengandung arti lebih dari itu. Dalam al-Qur’an kata ishlah
diperlawankan dengan kata fasad yang artinya kerusakan. Kata fasad
(kerusakan) digunakan dalam
berbagai konteks, diantaranya dalam konteks membunuh, merampok, memprovokasi
orang-orang untuk saling bermusuhan dan merusak lingkungan. Kebalikan dari
perbuatan seperti ini adalah ishlah. Ada kaidah yang mengatakan, “larangan
terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.” Misalnya, larangan
menyekutukan Tuhan (mengesakannya). Demikian juga halnya apa yang dilarang
Allah dengan menggunakan kata “fasad”, maka kebalikannya itulah yang disebut
ishlah yang seharusnya dilakukan terutama dalam kaitannya dengan upaya membina
hubungan persaudaraan. Tidak membunuh, tapi justru slaing menghidupkan, tidak
merampok, tapi justru saling menolong, tidak merusak lingkungan, tapi justru
memperbaiki dan menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif, aman, dan
damai. Paling tidak, menghindari perbuatan-perbuatan yang merusak sebagaimana
disebutkan di atas.
Dengan demikian, pengertian ishlah adalah lebih
kepada perbuatan-perbuatan nyata dan konkrit. Oleh karena itu, hubungan
persaudaraan menurut konteks hadist tersebut di atas harus diikuti dengan
perbuatan yang tidak menzhalimi, tidak mendustakan, tidak menipu, tapi justru
harus saling menutupi kebutuhan dan kesulitan di antara sesame saudara.
Persaudaraan dalam ayat tersebut juga disebutkan
dalam konteks perdamaian dan pembinaan kehidupan bermasyarakat yang harmonis
dan damai serta sejahtera. Prinsip yang sangat mendasar dalam Islam ini dalam
rangka upaya membawa misi Rahmatan lil
‘Alamin adalah dengan membangun tatanan kehidupan sosial dan kebersamaan
dalam bermasyarakat. Upaya kearah ini adalah dengan membangun dan memantapkan
hubungan persaudaraan sebagai wujud rasa cinta terhadap sesame.
Dalam catatan sejarah, kita mengenal dan mengetahui
bahwa Nabi Saw. Dalam merintis terbentuknya sebuah negara di Madinah adalah
dengan mengawali menciptakan hubungan persaudaraan yang harmonis dan damai
antara komunitas Muhajirin (Penduduk Mekah yang hijrah ke Madinah) dengan
komunitas Anshar (penduduk Madinah). Lahirnya Piagam Madinah yang pada awalnya
disebut sebagai al-kitab (buku) dan ash-Shahifah (bundelan kertas), dan
dalam konteks modern dikenal sebagai ad-Dustur
(konstitusi), atau al-Watsiqah
(dokumen) yang memuat dua bagian. Satu bagian berisi perjanjian damai antara
Nabi Saw dengan komunitas yahudi yang ditandatangani ketika Nabi Saw. Pertama
kali ketika Nabi Saw tiba di Madinah, dan bagian kedua berisi tentang komitmen,
hak-hak dan kewajiban umat Islam, baik Muhajirin maupun Anshar yang ditulis
setelah perang badar yang terjadi pada tahun II H. oleh para ahli sejarah dan
penulis belakangan menyatukan kedua bagian ini menjadi satu dokumen yang
ditulis terdiri dari 47 pasal. Piagam Madinah ini lahir sesungguhnya didasari
oleh semangat persaudaraan. Di atas landasan Piagam madinah inilah sebagai
sebuah konstitusi menjadi acuan dalam kehidupan dan interaksi hubungan antar
berbagai komunitas dalam sebuah Negara Madinah di bawah kepemimpinan nabi Saw.
Hal ini berarti bahwa persaudaraan merupakan dasar dan landasan utama dalam
membangun sebuah tatanan kehidupan komunitas masyarakat yang majemuk dan
plural, baik dalam skala kecil sampai skala yang lebih besar dalam bentuk
sebuah bangsa dan Negara.
Berangkat dari asas persamaan dalam persaudaraan
sebagai mana telah diurraikan diatas, maka hubungan persaudaraan dalam konsep
islam, tidak terbatas hanya dalam sesame umat Islam sendiri sebagaimana
disebutkan dalam hadis diatas (seorang muslim adalah bersaudara dengan sesama
muslim). Dan ini disebut sebagai Ukhuwah
fi Din al-Islam (persaudaraan antar sesame muslim). Dan bukan Ukhuwah
Islamiyah, sebab pengertian Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan yang dibangun
dengan semangat dan sikap yang Islami, walaupun dalam komunitas non-muslim. Di
samping itu, hubungan persaudaraan meliputi juga terhadap sesama manusia hamba
Allah secara umum, apakah sesame muslim atau bukan, apakah sesama etnis,
bangsa, atau bukan. Hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
Abu Daud bersumber dari zaid ibn Arqam, nabi Saw. Bersabda:
“sesungguhnya hamba-hamba Allah itu semuanya
bersaudara.”
Persaudaraan antar sesama manusia hamba Allah secara
umum yang disebutkan dalam hadis tersebut diatas disebut Ukhuwwah insanniyah (persaudaraan antar sesame manusia). Hadis
tersebut lebih menegaskan tentang arti sebuah persaudaraan, dimana nabi saw
menegaskan lebih dahulu bahwa sesame saudara dari kalangan mana dan siapa pun
tidak boleh saling menganggu, membenci, dan menyakiti, tetapi justru sebaliknya
harus saling memperhatikan dengan saling menolong dan menutupi kebutuhan dan
kesulitan.
Persamaan yang merupakan inti dari sebuah
persaudaraan dalam islam menjadi pendorong bangkitnya rasa cinta dan saling
memahami dan menolong antar satu dengan yang lain. Kadar dan kualitas keimana
seseorang dapat di deteksi dan diketahui melalui sampai sejauhmana ia mampu
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Sebagaimana
ditegaskan dalam hadis Nabi Saw. Yang diriwayatkan Bukhari, Tirmidzi, Nasai,
Darimi, yang bersumber dari Anas ibn Malik.
“Tidak beriman seorang di antara kamu sampai ia
mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Adapun langkah-langkah konkrit yang seharusnya
dilakukan agar hubungan persaudaraan tetap terbina, lestari dan harmonis serta
damai adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad yang
bersumber dari Abdullah ibn Umar, nabi saw. Bersabda :
“Seorang muslim adalah bersaudara dengan sesamanya
muslim. Tidak menzaliminya, tidak meninggalkannya tanpa pertolongan. Beliau
bersabda: “Demi zat yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, tidak ada dua
orang yang saling mengasihi dan menyayangi lalu dipisahkan keduanya, untuk
melakukan enam kebaikan terhadap sudaranya; 1) mendoakannya dengan membaca
yarhamkumullah jika ia bersin diiringi dengan membaca Alhamdulillah 2)
menjenguknya jika ia sakit. 3) menasehatinya. 4) member ucapan salam jika
bertemu dengannya. 5) memenuhi undangannya jika ia mengundang. 6) mengantarkan
jenazahnya, jika ia meninggal. Dan menahan diri untuk tidak memutuskan hubungan
saudaranya lebih dari tiga hari.
D.
Konsep
Persaudaraan Sesama Muslim
“Sesungguhnya
orang-orang mu’min itu bersaudara kerena itu damaikanlah antara kedua saudaramu
dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat.”
Semua
muslim adalah bersaudara. Karena itu jika bertengkar mereka harus bersatu
kembali dan bersaudara seperti biasanya. Hal ini diperkuat oleh larangan
Rasulullah SAW terhadap permusuhanantar muslim. Abu Ayyub Al-Anshary
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Tidak seorang muslim memutuskan
silaturrahmi dgn saudara muslimnya lbh dari tiga malam yg masing-masingnya
saling membuang muka bila berjumpa. Yang terbaik diantara mereka adl yg memulai
mengucapkan salam kepada yg lain.” .
Persaudaraan
yg dimaksudkan adalah bukan menurut ikatan geneologi tapi menurut ikatan iman
dan agama. Hal tersebut diisyarakat dalam larangan Allah SWT mendoakan orang yg
bukan Islam setelah kematian mereka. Firman Allah SWT “Tiadalah sepatutnya
bagi nabi dan orang-orang yg beriman meminta ampun bagi orang-orang musyrik
walaupun orang-orang musyrik itu adl kerabatnya.”
Ini
sama sekali tidak berarti bahwa seorang muslim diijinkan mengabaikan ikatan
keluarganya walaupun dengan kerabat non muslim. Dasar kebajkan kepada orang tua
dan keluarga dapat ditemukan dalam Al-Qur’an sendiri. Firman Allah SWT “Dan
kami wajibkan manusia kebaikan kepada kedua ibu bapaknya.”
Mengutamakan
persaudraan Islam lebih dari yang lain sama sekali tidak mempengaruhi ikatan
darah biarpun dengan kerabat non-Muslim.[4]
Nabi
SAW menekankan pentingnya membangun persaudaraan Islam dalam batasan-batasan
praktis dalam bentuk saling peduli dan tolong menolong. Sebagai contoh Beliau
bersabda “Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya”
. Bodoh sekali seorang muslim yang mengharapkan belas kasih khusus dari
Allah SWT jika ia tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan muslim
lainnya. Sebagai akibatnya persaudaraan kaum muslim tidak saja merupakan aspek
teoritis ideologi Islam tapi telah terbukti dalam praktek aktual pada kaum
muslim terdahulu ketika mereka menyebarkan Islam kepenjuru dunia. Kemanapun
orang-orang Arab muslim pergi apakah itu ke Afrika India atau daerah-daerah
terpencil Asia mereka akan disambut hangat oleh orang-orang yg telah memeluk
Islam tanpa melihat warna kulit ras atau agama lamanya. Tidak ada tempat dalam
Islam bagi pemisahan kelas maupun kasta.Tata cara melaksanakan shalat tidak ada
tempat istimewa dan semua harus berdiri bahu membahu dalam baris-baris lurus.
Demikian pula dalam pemilihan imam tidak didasarkan status sosialnya dalam
masyarakat namun atas kemampuannya dalam menghafal al-Qur’an. Itulah mengapa
seorang imam dapat di tunjuk dari anak yg berusia enam tahun sebagaimana
kejadian pada seorang shahabat muda Salamah. Nabi SAW. mengatakan pada
kabilahnya “Jika waktu shalat tiba slah seorang dari kalian harus
mengumandangkan adzan “. Ketika mereka mencari diantara mereka sendiri
mereka tidak menemukan orang yg tahu tentang Al-Qur’an lbh dari Salamah
sehingga mereka menunjuknya sebagai imam walaupun ia baru berusia enam atau
tujuh tahun pada saat itu. .
Pilar
ketiga dalam Islam zakat berupa kewajiban atas orang-orang kaya atau relatif
kaya untuk menyerahkan sebagian dari simpanan tahunan mereka kepada orang-orang
miskin merupakan perwujudan tanggung jawab sosial ekonomi dari persaudaraan
itu. Sebab walaupun kedermawanan amat dianjurkan oleh Islam sebagai mana oleh
agama lain tanggung jawab ini dalam Islam dilembagakan dan dipungut oleh negara
untuk menjamin kelangsungan hidup ekonomi orang-orang miskin. Sebenarnya semua
hukum-hukum ekonomi dalam islam selalu menekankan perlindungan atas hak-hak
persaudaraan. Praktek-praktek ekonomi yang dengan suatu cara menarik keuntungan
atau merugikan anggota-angota masyarakat adalah terlarang keras. Makanya
pinjaman yang diakui dalam Islam adalah pinjaman tanpa bunga sebab pinjaman dengan
bunga pada umumnya mengambil keuntungan yang tidak adil dari orang lain ketika
mereka dalam posisi yang secara ekonomis lemah.
Demikian
pula pilar terbesar Islam haji yang mengandung esensi pilar-pilar lainnya
menekankan persaudaraan orang-orang beriman dalam semua ritus-ritusnya. Pakaian
bagi orang-orang lali-laki yang sedang haji dikenal dengan Ihram terdiri dari
dua lembar kain selembar dipakai seputar pinggang selembar yang lain
diselempangkan di atas bahu. Kesederhanaan pakain ini dikenakan oleh jutaan
jamaah haji dari berbagai penjuru dunia menunjukan hakekat persatuan dan
persamaan dalam persaudaraan Islam. [5]
Keaslian
prinsip persaudaraan yang meliputi segala upacara keagamaan dan hukum-hukum
dalam Islam telah dan terus menjadi faktor kunci dalam menarik manusia di
seluruh dunia untuk masuk Islam. Namun patut dicatat bahwa prinsip persaudaraan
ini telah ditantang dalam prakteknya oleh munculnya nasionalisme diantara kaum
muslimin. Walaupun Allah SWT dan Rasul-Nya dengan tegas menentang segala bentuk
tribalisme nasionalisme dan rasisme. Nasionalisme telah ditimbul dikalangan
kaum muslim setelah tumbangnya generasi awal Berabad-abad setelah wafatnya Nabi
Saw. nasionalisme arab Persia dan Turki meruntuhkan umat muslim ketika
kepemmpinan terus berpindah tangan diantara mereka selama masa-masa itu. Bentuk
awal nasionalisme ini kemudian diperberat oleh kolonialisme Eropa yang
meninggalkan umat Islam terpecah belah ke dalam seribu satu kesatuaan-kesatuan
nasional yang berskala kecil dan dangkal. Walaupun ikatan umum Islam tetap
berlanjut menyatukan umat dalam persaudaraan pemerintah mereka masing-masing
mengeksploitasi segala kesempatan yang dapat membangkitkan perasaan-perasaan
nasionalisme agar massa muslim tetap terpecah-pecah sehingga pemerintahan
mereka yang pada sebagian besar kasus anti Islam dapat terus terpelihara.
Kelemahan
yang menghantam kehidupan umat Islam sekarang ini mulai dari runtuhnya khilafah
Islamiyah sampai terpuruknya negeri-negeri Islam sehingga harus menjadi bagian
dunia ketiga merupakan satu indikasi yang paling jelas menurunnya rasa
persaudaraan dikalangan umat Islam itu sendiri. Perpecahan dikalangan umat yang
mempunyai kepentingan-kepentingan golongan ikut meluluh lantahkan pilar-pilar
persaudaraan itu. Maka kata kunci untuk mampu menegakan Islam di seentero jagad
ini adalah dengan pererat persaudaraan diantara sesama umat Islam dan menyingkirkan
jauh-jauh rasa ta’asubiyah dan keyakinan penuh bahwa nasionalisme bukan dari
bagian kita.[6]
Celupan persaudaraan mencakup dalam
dua aspek: Pertama, sikap atau perilaku yang positif; Kedua,
perasaan atau mental yang positif.[7]
1.
Sikap atau perilaku
Beberapa
hal yang harus terlihat sebagai hasil celupan ukhuwah dan keimanan di dalam
sikap adalah:
1. Sikap bersaudara atau menganggap
sebagai saudara (Ikhowi).Bersikap lembut (‘Athifah)
2. Mencintai karena Allah (Mahabbah)
3. Menghormati (Ihtirom)
4. Menaruh kepercayaan (Tsiqoh)
2.
Perasaan atau mental
Beberapa
hal yang harus terlihat sebagai hasil celupan ukhuwah dan keimanan dalam
perasaan (hati) adalah:
1. Rasa atau keinginan untuk saling
menolong (Ta’awun)
2. Mendahulukan kepentingan saudaranya (I’tsar)
3. Menunjukkan rasa kasih sayang (Rohmah)
4. Saling melengkapi kekurangan
saudaranya; sinergis (Takaaful)
5. Rasa saling memaafkan (Ta’afu)
Semua sikap positif di atas
merupakan hal yang lazim dalam keimanan. Artinya persaudaraan (ukhuwah) sebenarnya merupakan konsekuensi
sebuah keimanan. Tidak ada persaudaraan (sejati) tanpa keimanan, dan tidak ada
keimanan tanpa adanya persaudaraan. Jika kita mendapati suatu persaudaraan yang
tidak dilandasi keimanan, maka kita akan mendapati bahwa persaudaraan itu tidak
akan membawa kemaslahatan dan manfaat yang saling timbal balik. Sekiranya semua
hal di atas (sikap dan perasaan) telah dilaksanakan, maka umat yang beriman
akan sangat mudah dipersatukan. Karena pemersatu yang terbaik harus sampai
dapat menyatukan hatinya. Tidak ada persatuan hati yang sejati kecuali
dilandasi di atas kesamaan iman dan aqidah
Persatuan yang dimaksud di sini
adalah terjadinya keterikatan dan keterkaitan hati yang timbal balik diantara
saudara. Ikatan hati seperti itu tidak mungkin terjadi bila yang mendasarinya
adalah kekuatan materi atau kepentingan lainnya. Ikatan hati hanya akan
terwujud dengan kekuatan aqidah dan persaudaraan yang sejati (QS 8:63). Ikatan
yang kuat yang berdiri di atas benarnya aqidah inilah yang akan kekal selamanya
sampai ke akhirat (QS az-Zukhruf: 67).
Persaudaraan (ukhuwah) yang telah
dijelaskan di atas itulah yang hakiki. Persaudaraan, persahabatan dan
percintaan yang didasarkan di atas kesamaan dan kepahaman aqidah keislaman (QS
49:10-13).[8]
Menurut Rachmat Safe’I dalam bukunya
Al-hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, Salah satu landasan utama yang mampu
menjadikan umat bersatu atau bersaudara ialah persamaan kepercayaan atau
aqidah. Ini telah dibuktikan oleh bangsa arab yang sebelum Islam selalu
berperang dan bercerai berai, tetapi setelah mereka menganut agama Islam dan
memiliki pandangan yang sama (way of life) baik lahir maupun batin, mereka
dapat bersatu.[9]
Akan tetapi, persamaan akidah yang
dimaksud disini adalah dalam arti sebenarnya, lahir batin bukan hanya label
atau pengakuan saja. Jika tidak demikian, persamaan akidah tidak mungkin mampu
mempersatukan dan mengembalikan kejayaan kembali umat Islam seperti pada masa
pendahulu Islam.
Menurut M Quraisy Shihab,
berdasarkan ayat-ayat yang ada dalam A-Qur’an, setidaknya ada empat macam
bentuk persaudaraan :[10]
1. Ukhuwah ‘ubudiyyah, atau saudara
kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
2. Ukhuwah Insaniyyah atau
(basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara karena berasal
dari seorang ayah dan ibu. Rasulullah juga menekankan hal ini menalui sebuah
hadis :
“Jadilah
kalian hamba Allah yang bersaudara” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
3. Ukhuwah Wathaniyah wa an-nasab,
yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
4. Ukhuwah fi ad-din al-Islam
persaudaraan antar sesame muslim
E.
Hadis-Hadis Lain Mengenai
Persaudaraan Sesama Muslim
1. Seorang mukmin terhadap mukmin
lainnya seumpama bangunan saling mengokohkan satu dengan yang lain. (Kemudian
Rasulullah Saw merapatkan jari-jari tangan beliau). (Mutafaq ‘alaih)
2. Kaum muslimin ibarat satu tangan
terhadap orang-orang yang di luar mereka. (HR. Asysyihaab)
3. Allah Selalu menolong orang selama
orang itu selalu menolong saudaranya (semuslim). (HR. Ahmad)
4. Anas r.a. berkata bahwa Nabi Saw
bersabda, “Tidaklah termasuk beriman diantara kamu sehingga mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan Nasa’i)
5. Abdullah bin Umar berkata Saw telah
bersabda “Seorang muslim adalah orang yang menyebabkan orang-orang Islam (orang
lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang-orang yang hijrah adalah orang
yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah SWT.”
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Hakekat persaudaraan dalam islam adalah
saling memperhatikan, dalam artian saling memahami, saling mengerti, saling
membantu, dan membela terhadap sesama sebagaimana ditegaskan dalam hadis
Rasulullah Saw. Diatas yang disabdakan karena adanya sahabat yang membantu dan
membela saudaranya yang diserang atau dianiaya oleh orang lain.
Dalam merintis terbentuknya sebuah
negara di Madinah adalah dengan mengawali menciptakan hubungan persaudaraan
yang harmonis dan damai antara komunitas Muhajirin (Penduduk Mekah yang hijrah
ke Madinah) dengan komunitas Anshar (penduduk Madinah). Lahirnya Piagam Madinah
yang pada awalnya disebut sebagai al-kitab
(buku) dan ash-Shahifah (bundelan
kertas), dan dalam konteks modern dikenal sebagai ad-Dustur (konstitusi), atau al-Watsiqah
(dokumen) yang memuat dua bagian.
Celupan
persaudaraan mencakup dalam dua aspek: Pertama, sikap atau perilaku yang
positif; Kedua, perasaan atau mental yang positif.
B.
Saran
Berdasarkan Uraian latar belakang dan pembahasan
diatas, maka dari itu, penulis menyarankan kepada :
1. Masyarakat,
kita harus bisa saling membina hubungan persaudaraan antar sesama muslim maupun
non-muslim agar kita dapat hidup tentram secara berdampingan di dunia yang
sementara ini.
2. Para
Pembaca, Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, walaupun masih
banyak terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk
perbaikan dan kesempurnaan penyusunan makalah yang selanjutnya. Atas saran dan
kritiknya yang membangun, penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Sayadi, Wajidi, 2011, Hadis Tarbawi Pesan-Pesan Nabi SAW Tentang
Pendidikan. Jakarta: Pustaka Firdaus
Syafe’i, Rachmat, 2003, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum,
Bandung: CV. Pustaka Setia
Faiz Almath, Muhammad, 1995, 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad,
Jakarta: Gema Insani Press
http://www.hidayatullah.com Diakses pada tanggal 1 Desember
2011 Pukul 19.00 WIB
http://www.blog.re.org.id/ Diakses pada tanggal 1 Desember
2011 Pukul 19.30 WIB
[1] Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi, 2001, hal. 113
[2] Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi, 2001, hal. 116
[3] Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi, 2001, hal. 116-126
[4] http://blog.re.org.id/
[5] http://blog.re.org.id/
[6] http://blog.re.org.id/
[7] http://www.hidayatullah.com
[8] http://www.hidayatullah.com
[9] Rachmat Safe’I, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, 2003,
hal. 203
[10] Quraisyi Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu I atas berbagai
Persoalan Umat, 1996, hal. 489.
0 komentar:
Your comment / Persaudaraan Sesama Muslim (Ukhuwah Islamiyah)
Komentar Anda Sangat Bermanfaat Bagi Khazanah Ilmu Pengetahuan