BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai
dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya
akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan,
ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya
merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah
merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah
pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila
adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila
dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak,
sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan
adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri,
dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan
baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan
tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus
manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak
patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah
yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu,
sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek
yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya itu.
Di tengah zaman yang menjunjung tinggi kebebasan saat ini, manusia
tidak lagi memperdulikan Etika, moral atau Akhlak mereka. Saat ini semua itu
hanya dijadikan sebagai pemanis kata saat berorasi tanpa ada aplikasi dalam
diri. Karena itu saya memilih tema ini untuk mengajak pembaca mengkaji kembali
tentang manusia kaitanya dengan Etika, Moral dan Akhlak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian Etika, Moral dan Akhlaq ?
2.
Apa
sajakah persamaan Etika, Moral dan Akhlak ?
3.
Apa
sajakah perbedaan Etika, Moral dan Akhlak ?
4.
Apakah
itu akhlak islami ?
5.
Bagaimanakah
hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak ?
C.
Tujuan
1.
Agar
kita mengetahui pengertian Etika, Moral dan Akhlaq.
2.
Agar
kita mengetahui persamaan Etika, Moral dan Akhlak.
3.
Agar
kita mengetahui perbedaan Etika, Moral dan Akhlak.
4.
Agar
kita mengetahui arti akhlak islami.
5.
Agar
kita mengetahui hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akhlak, Etika dan Moral
Dalam berbagai literature tentang ilmu akhlak islami, dijumpai
uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu;
akhlak yang baik (akhlak al-karimah / mahmudah ), dan akhlak yang buruk (akhlak
madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya
termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta,
pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga
perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira/ksatria) dan
iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang bersangkut paut dengan
perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau
keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang
seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus
dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut
diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam
Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.
a.
Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak,
yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik
(peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim
mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai
timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), at-thobi’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan,
kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Namun akar kata
akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab
isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan
ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak
merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki
akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat
merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w.
421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka
dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya
dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam
membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih
luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling
melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam
perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah
tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri
orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan
keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak
yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena
Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu
pujian.
b.
Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa
Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa
Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral).
Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli
dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad
amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai
filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari
konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa
etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi
objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran
atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak,
absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki
kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan
berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi,
psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga,
dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah
perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian
sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika
bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang
dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang
dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat
dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan
demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada
pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah
aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
c.
Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores
yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum
bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap
perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai
(ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan
lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang
sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan
posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau
rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang
tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika
lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan
etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang
berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur
tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku
di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari
ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Kesadaran moral serta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam
bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa
arab disebut dengan qalb, fu’ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal.
Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral.
Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu
perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang
objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui
berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam
situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk
kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan,
bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang
dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut
diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya
kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan
perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut
telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran
moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu
perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
B.
Persamaan dan Perbedaan Etika, Moral, dan Akhlak
•
Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan
hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
•
Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
1.
Objek: yaitu perbuatan manusia
2.
Ukuran: yaitu baik dan buruk
3.
Tujuan: membentuk kepribadian manusia
Perbedaan
1.
Sumber atau acuan:
-
Etika sumber acuannya adalah akal
-
Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
-
Akhlak bersumber dari wahyu
2.
Sifat Pemikiran:
-
Etika bersifat filososfis
-
Moral bersifat empiris
-
Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
3.
Proses munculnya perbuatan:
-
Etika muncul ketika ada ide
-
Moral muncul karena pertimbangan suasana
-
Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan
D.
Hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak
Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang
mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana,
bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah.
Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa
berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan
sistem hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi
keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori,
bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau.
Karena hukum sudah dibeli oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus
“buaya” yang sampai sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya
penegakan hukum di Indonesia.
Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku
bertajuk “Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas”.
Bertolak dari pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada
dasarnya merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau
memetakan arah yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin
mencapai tujuan akhir yang dicarinya.
Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta
itu dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang
dapat menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup
manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi
yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an
kebaikan umum (hlm. 243).
Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk
dan mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu
dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan
dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada
tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan
akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan
aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum
ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya.
Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua
aspek pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum
kodratnya adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan
ketiga, yakni manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan
dengan sesamanya.
Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian
serius dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya
sendiri yang berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai
dasar kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia.
Kedudukan yang substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq
otonom dan unik; kedua, manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan
kebebasan adalah dimensi transedental manusia sebagai persona. Manusia juga
memiliki kodrat rasional, sehingga manusia adalah makhluq yang “sadar diri”
atau memiliki kemampuan untuk berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat
substansial, manusia mampu untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai
subjek yang otonom.
Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis
kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada
kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi,
sedemikian rupa sehingga setiap substansi mengusahakan pelestarian
keberadaannya sesuai dengan hekakat kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas
menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki
hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar penjabaran Aquinas tentang teori
moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal budi, maka manusia haruslah
“sadar diri” dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia
akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan inilah yang
mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan
akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud
kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan
manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum
memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat
perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan
akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan
moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan
seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan
hukum.
Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan
akal budianya untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya sebagai “tuan” atas
perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak yang
diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum.
Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri
merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis, sehingga akan
melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri”
pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan membahagiakan.
Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa
ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan
hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan”
bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.
E.
Hubungan Akhlaq, Etika, Moral, dan Susila
Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakanbahwa
etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari
suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah
tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik,
teratur, aman, damai dantenteram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriah.
Perbedaan antara etika, moral dan susila dengan akhlak
adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan
buruk. Jika pada etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran,
dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum dimasyarakat,
maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu
adalahal-qur’an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pada
sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis,
maka moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah
laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat lokal dan
individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moran dan susila
menyatakan ukuran tersebut dalambentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling
berhubungan dan membutuhkan. Uraian diatas menunjukkanengan jelas bahwa etika,
moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara
selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup
manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berasal
petunjuk al-qur’an dan hadis. Dengan kata lain, jika etika, moral dan susila
berasal dari manusia, sedangkan akhlak dari Tuhan.
Hubungan antara akhlak dengan etika, moral dan susila ini
bisa kita li-hat dari segi fungsi dan perannya, yakni sama-sama menentukan
hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk
ditentu-kan baik dan buruknya, benar dan salahnya sehingga dengan ini akan
tercip-ta masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tenteram serta
sejahtera lahir dan batin.
Sedangkan perbedaan antara akhlak dengan etika, moral dan
susila da-pat kita lihat pada sifat dan kawasan pembahasannya, di mana etika
lebih bersifat teoritis dan memandang tingkah laku manusia secara umum, se-dangkan
moral dan susila lebih bersifat praktis, yang ukurannya adalah ben-tuk
perbuatan. Serta sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk
pun berbeda, di mana akhlak berdasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, etika
berdasarkan akal pikiran, sedangkan moral dan susila berda-sarkan kebiasaan
yang berlaku pada masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa antara akhlak
dengan etika, moral dan susila mempunyai kaitan yang sangat erat, di mana
wahyu, akal dan adat adalah sebuah teori perpaduan untuk menentukan suatu
ketentu-an, nilai. Terlebih lagi akal dan adat dapat digunakan untuk
menjabarkan wahyu itu sendiri. Rasulullah Saw bersabda, sebagaimana dikutip
oleh Harun Nasution, yang dikutip ulang oleh Abuddin Nata, yaitu :
اَلدِّيْـنُ هُوَ الْعَـقْلُ لاَ
دِيْـنَ لِـمَنْ لاَ عَـقْلَ لَـــهُ
Artinya:
مَا رَاَى الْمُسْـلِمُوْنَ خَـيْرًا
فَهُوَ عِـنْدَ اللهِ خَـيْرٌ
Artinya:
“Sesuatu yang oleh orang-orang Islam
dipandang baik, maka yang demikian itu dalam pandangan Allah pun baik pula.”
Selain itu dalam kaidah ushul fiqh juga dikenal istilah al-‘âdât
ul-muha-kamât, yakni kebiasaan itu menjadi ketetapan, dan al-‘urf,
yakni adat kebiasa-an yang berkembang di masyarakat, juga istilah jalb ul-mashâlih
wa dar’ ul-ma-fâsid, yakni menarik manfaat dari yang membawa kebaikan, dan
meninggal-kan yang membawa kerusakan.
Dengan demikian keberadaan etika, moral dan susila sangat
dibutuhkan dalam rangka menjabarkan dan mengoperasionalisasikan ketentuan
akhlak yang berada didalam al-qur’an. Disinlah letak peranan dari etika, moral
dan susila terhadap akhlak. Pada sisi lain akhlak juga berperan untuk
memberikan batasan-batasan umum dan universal, agar apa yang dijabarkan dalam
etika, moral dan susila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang luhur dan
tidak membawa manusia menjadi sesat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa
etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari
suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua
istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang
baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan
lahiriyah.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah
terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk.
Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan
pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat,
maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah
al-qur’an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada
sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis,
maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang
tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan
individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila
menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling
berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas
bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat
yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan
hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang
berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral
dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
B.
Saran
Semoga Makalah ini dapat
bermanfaat bagi diri saya pribadi khususnya, dan bagi para pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Mudlor.
Tt. Etika dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
Al-Jazairi,
Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera.
Jakarta
Bakry, Oemar.
1981. Akhlak Muslim. Angkasa. Bandung.
Halim, Ridwan.
1987. Hukum Adat dalam Tanya Jawab. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Ilyas, Yunahar.
1999. Kuliah Akhlak. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam.
Yogyakarta.
Kusumamihardja,
Supan dkk. 1978. Studia Islamica. Pt Giri Mukti Pasaka. Jakarta.
Masyhur, Kahar.
1986. Meninjau berbagai Ajaran; Budipekerti/Etika dengan Ajaran Islam.
Kalam Mulia. Jakarta.
Mustofa, Ahmad.
1999. Ilmu Budaya Dasar. CV Pustaka Setia. Bandung.
Nata, Abuddin.
2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Rifa’i,
Mohammad. 1987. 300 Hadits Bekal Dakwah dan Pembina Pribadi Muslim.
Wicaksana. Semarang.
Salam, Zarkasji
Abdul. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh. Lembaga Studi Filsafat Islam.
Yogyakarta.
0 komentar:
Your comment / Etika, Moral dan Akhlaq
Komentar Anda Sangat Bermanfaat Bagi Khazanah Ilmu Pengetahuan