A.
Hukum Shalat Jumat bagi Perempuan
Hukumnya mubah (boleh), tidak wajib
juga tidak dilarang. Artinya, kaum Muslimah tidak diwajibkan shalat Jumat
sebagaimana kaum pria, namun dibolehkan jika ikut shalat Jumat, selama
kehadirannya tidak menimbulkan fitnah bagi jamaah di masjid.
Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah
Saw bersabda, ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib
atasnya shalat jum’at pada hari jum’at kecuali orang sakit, musafir, wanita,
anak kecil, atau budak…” (HR. Ad-Daruquthni).
”Janganlah kalian melarang
wanita-wanita kalian dari mendatangi masjid dan (sesungguhnya) rumah-rumah
mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’
(lembaga fatwa Arab Saudi) menegaskan: shalat Jum’at tidak diwajibkan bagi kaum
wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum’at bersama imam
shalat Jum’at, maka shalatnya sah. Tapi jika ia melakukan shalat seorang diri
di rumah, maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur . Wallahu a’lam.*
B.
Zakat Fitrah Dengan Uang Lebih
Bermanfaat dan Praktis
Tidak lama lagi kita akan mengakhiri puasa Ramadhan dan
memasuki bulan Syawal, insya Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
kesempatan puasa Ramadhan kepada kita agar kita meraih kemuliaan di sisi-Nya.
Sebagai manusia biasa kita tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan, bahkan
kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan puasa ini. Karena itulah, begitu kita
memasuki malam Idul Fitri, kita diwajibkan oleh syara’ untuk
mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ (sekitar 2,5 kg) makanan pokok sebagai
pembersih dari perbuatan sia-sia dan perbuatan buruk dan untuk memberi makanan
kepada orang-orang miskin. waktunya berlaku hingga dimulainya shalat Id.
Setelah itu zakat fitrah tidak sah dan menjadi sedekah biasa.
Yang menjadi pokok pembahasan di
sini, kita masyarakat Indonesia secara umum biasa mengeluakan zakat fitrah
dengan beras. Tidak ada yang salah dalam hal ini karena memang mayoritas
madzhab kaum muslimin di Indonesia menganut madzhab Syafi’i. Dan madzhab
Syafi’i sebagaimana madzhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa zakat
fitrah harus memakai makanan pokok suatu negeri atau jenis-jenis yang telah
ditetapkan dalam nash, misalnya gandum dan kurma.
Adapun madzhab Hanafi berpendapat
bahwa zakat fitrah boleh dikeluarkan dengan nilai barang atau uang.
Khalifah Umar bin Abdil Aziz, Hasan al-Bashri, Sufyan ats-Tsauri, dan Imam
al-Bukhari juga berpendapat demikian. Ibnu Rusyd sebagaimana yang dikutip Ibnu
Hajar dalam Fath al-Bari (3/100) mengatakan, “Imam Bukhari sependapat dengan
madzhab Hanafiyah dalam masalah ini, padahal ia banyak berselisih dengan
mereka. Namun, dalillah yang menuntunnya demikian.”
Setelah mengkaji mazhab ulama tentang
masalah ini dan melihat realita perkembangan masyarakat, saya cenderung agar
kebiasaan zakat fitrah dengan beras diganti dengan uang karena hal
ini insya Allah akan lebih bermanfaat dan lebih praktis, disamping memiliki
landasan dalil yang kuat. Syaikh Yusuf Qardhawi telah menjelaskan dengan
penjelasan yang memuaskan tentang zakat fitrah dengan uang dalam
karya besarnya Fiqh az-Zakah. Maka barangsiapa yang ingin memahaminya lebih
komprehensif, saya persilakan merujuk kitab tersebut.
Berikut ini dalil-dalil naqli dan
aqli zakat fitrah dengan uang.
1. Allah swt berfirman,
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (at-Taubah: 3) Uang termasuk
harta. Adapun tidak diberlakukannya zakat dengan uang pada zaman nabi karena
untuk memudahkan mereka. Pada zaman itu umat Islam belum memiliki uang
tersendiri. Uang dinar berasal dari Romawi dan uang dirham berasal dari Persia.
2. Sahabat Mu’adz ketika di Yaman
berkata, “Bawalah baju Khamis atau lainnya kepadaku. Aku mengambilnya dari
kalian sebagai ganti zakat, karena hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih
bermanfaat bagi kaum Muhajirin di Madinah.” (HR. Baihaqi dan Imam Bukhari.
Dalam riwayat lain disebuatkan, “…sebagai ganti dari jagung dan gandum.” (HR.
Baihaqi). Ketika itu masyarakat Yaman terkenal dengan produksi pakaian,
sementara mayoritas penduduk Madinah petani. Maka membayar zakat dengan pakaian
sebagai ganti dari jagung dan gandum lebih mudah bagi mereka dan lebih
bermanfaat bagi para sahabat di Madinah. Perlu diketahui bahwa sahabat Muadz
telah disaksikan oleh Nabi saw. sebagai orang yang paling tahu tentang halal
dan haram.
3. Muawiyah berkata, “Sesungguhnya aku
melihat dua mud Samra` (gandum Syam) setara dengan satu sha’ kurma.” (HR.
Muslim, Nasa`i, Baihaqi dan lainnya) Di sini sahabat Muawiyah ra. membolehkan
satu Sha’ kurma diganti dengan dua mud gandum Syam. Ini menunjukkan bolehnya
membayar zakat dengan nilai atau uang.
4. Zakat bukanlah jenis ibadah yang
murni seperti shalat. Di dalamnya terdapat tujuan-tujuan yang bisa dipahami
oleh akal manusia. Dengan kata lain, ada sisi-sisi kemanusiaannya yang bisa
dijadikan acuan untuk istidlal aqli. Jika pada zaman nabi tidak ada zakat uang,
itu karena kondisinya menuntut seperti itu. Kondisinya berbeda setelah itu.
Kita bisa memahami Imam Abu Hanifah yang membolehkan zakat fitrah dengan uang
karena beliau hidup di negeri Irak yang corak kehidupannya sudah metropolitan,
disamping beliau sendiri juga seorang pedagang. Sesungguhnya kondisilah yang
menuntut demikian. Beliau melihat zakat dengan uang lebih mudah, lebih praktis,
dan lebih bermanfaat untuk fakir miskin.
5. Masyarakat yang tidak memiliki
banyak beras akan membeli beras untuk membayar zakat. Setelah membayarkannya,
panitia mengumpulkannya dan membutuhkan banyak tenaga untuk
mendistribusikannya. Setelah didistribusikan kepada penerima zakat, penerima
zakat menjualnya lagi kepada toko yang tentunya dengan harga di bawah standar.
Bahkan, ada juga panitia yang menjual beras-beras itu secara langsung. Maka
kerepotan-kerepotan ini akan hilang jika pembayaran zakat menggunakan uang.
Membawanya ke panitia mudah, lalu panitia menyerahkannya kepada penerima zakat
juga mudah, tanpa banyak tenaga dan biaya. Manfaatnya bagi penerima zakat juga
lebih besar dan lebih leluasa, terlebih pada zaman sekarang yang secara umum
tidak kekurangan masalah makanan.
C. Apakah Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda
?
Qodho’ Ramadhan boleh ditunda,
maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal.
Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum
masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah
menunda qodho’ puasanya sampai bulan Sya’ban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan
bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Aku masih memiliki utang puasa
Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya
(salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena
beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik
mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”
Akan tetapi yang dianjurkan adalah
qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan
firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan
kebaikan,
“Mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
Hal ini sering dialami oleh sebagian
saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7
hari dan punya kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan
Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut,
namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang
menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja
ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi
orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya,
maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini
adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy
Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja,
maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan
orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih
kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah
bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi
Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa
Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk
menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan
qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib
bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya.
Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan
pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya
adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh
(tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu
‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun apabila dia menunda qodho’nya
karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil
atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka
selain mengqodho’ puasanya.”
Kesimpulan: Bagi seseorang yang
dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka
dia memiliki kewajiban: (1) bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan
(3) wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa
yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena
sakit atau menyusui sehingga sulit menunaikan qodho’), sehingga dia menunda
qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban
kecuali mengqodho’ puasanya saja.
0 komentar:
Your comment / Hukum Shalat Jumat bagi Perempuan
Komentar Anda Sangat Bermanfaat Bagi Khazanah Ilmu Pengetahuan