Cerpen "Sang Pedangdut"

Your comment You are on Cerpen Edit posts?

Sang Pedangdut
Oleh M. Zuhri Ni’am

Aku sedang membeli beberapa bahan makanan untuk membuat kue yang akan ku jual keliling dari desa ke desa. Ketika kudengar beberapa pemuda nongkrong di bawah pohon rambutan sedang bermain kartu, melontarkan beberapa kalimat yang sungguh membuatku jengkel dan kesal …
“Goyangannya memang kurang mantab, tapi keseksiannya itu lho bro, membuat mataku pusing…”
Kata-kata tersebut di sambut oleh gelak tawa beberapa pemuda lainnya.

“Kalau dilihat dari kejauhan nampaknya seorang gembel, tapi begitu dilihat dari dekat, wah seperti bidadari yang menggoda hatiku …” hahahaha

Mulutnya seperti lupa diri, tawaannya semakin cetar membahana hingga kerongkongannya memaksa untuk keluar melalui mulutnya yang lebar. Sambil menghisap batang rokoknya, pemuda tersebut melanjutkan celotehannya.

“Kalau aku punya uang, akan ku beli dirimu hingga kau pasrah padaku …” hahaha

Mataku seakan ingin sekali menumpahkan air mata kekesalan, ku coba untuk menutup kedua lubang telingaku. Telingaku panas karena tuduhan mereka yang membabi buta sungguh menyakitkan hati. Aku bukanlah seorang pelacur yang tiap malam berjejer di pinggir jalan untuk menjajakkan tubuhnya, tetapi aku hanyalah seorang penyanyi dangdut dari panggung ke panggung demi menghidupi keluargaku. Memang aku selalu memakai pakaian yang seksi ketika bernyanyi, itu semata-mata kulakukan agar aku selalu diundang untuk bernyanyi. Jika tidak, aku dan keluargaku akan mati kelaparan. Belum lagi mengurusi ibuku yang kini sedang sakit diabetes. Adikku yang kini sedang menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar. Aku harus bekerja keras untuk menghidupi mereka karena akulah tulang punggung mereka. Walaupun celotehan tetangga dan pemuda-pemuda desa selalu mengusik ketentraman telingaku. Tak apalah, aku selalu mencoba untuk menyumbat telingaku dengan semangat dan ketegaran.  Aku mempercepat aktivitas belanjaku sore itu sambil menutup telinga.


Sore itu, aku sungguh kesal sekali, sepanjang jalan menuju rumahku, aku selalu menjadi pusat perhatian tetangga-tetanggaku. Tak lain karena profesiku lah sebagai penyanyi dangdut. Aku bingung, apakah aku harus berhenti untuk menyanyi dangdut dan hanya berjualan kue saja, ataukah tetap menyanyi dan tak menghiraukan perkataan mereka ?

Jam sudah menunjukkan pukul 19.00 malam, aku bingung kenapa akhir-akhir ini aku jarang sekali diundang untuk menyanyi lagi yaaa, padahal kondisi keuanganku sudah sangat menipis, mungkin hanya cukup untuk keperluan malam ini saja, sedangkan kue jualanku selalu saja tidak laku. Ibuku terbaring tak berdaya menunggu sesuap nasi dariku. Adikku selalu merengek meminta uang untuk membayar uang sekolah yang sudah menunggak 6 bulan.

Aku teringat cantika, teman semasa kecilku dulu. Dia sekarang sudah menjadi wanita yang sukses, entah pekerjaan apa yang ditekuninya. Aku terpikir untuk berkonsultasi dengan dirinya. Siapa tahu cantika mau membantu masalahku ini. Ku ambil handphone bututku, kuhubungi cantika dan diapun menyambutnya dengan girang. Satu jam aku menumpahkan masalahku kepadanya. Akhirnya dia mau membantuku untuk memberikan pekerjaan yang akan menghasilkan banyak uang. Tetapi dengan syarat, aku harus pergi ke kota dan meninggalkan keluargaku di desa. Aku sangat berat sekali meninggalkan mereka, tetapi disisi lain, aku juga harus membiayai keperluan ibuku dan adikku.
Disela-sela kebingunganku, suara lemah tak berdaya namun merdu memanggilku.

“Ratih, Ratih … !”

Kulihat sosok tak berdaya mencoba untuk mengeluarkan suaranya, kuhampiri ibuku tercinta, air mata tak sanggup lagi kubendung, entah sudah berapa liter tumpah di lantai hingga membanjiri rumahku. Aku tak bisa melihat ibuku terbaring lemah seperti itu.
“Ada apa ibu ?”
“Ratih, tetaplah disini nak, biarlah ibu seperti ini asalkan dirimu tetap disini bersama ibu. Ibu sebenarnya tidak rela dirimu bekerja sebagai penyanyi, tetapi ibu lebih suka engkau bekerja menjual kue walaupun hasilnya sedikit”
“Ibu, izinkan Ratih untuk bekerja di kota ya bu, ini demi ibu, Ratih ingin ibu sembuh dari penyakit ini. Ratih akan mencari uang untuk biaya pengobatan ibu. Nggak lama koq bu …”
“Kerja apa dan dengan siapa dirimu bekerja nak ?”
“Cantika tadi menawarkan pekerjaan buat Ratih bu, katanya dia menjanjikan penghasilan yang besar.”
“Jangan nak, ibu tidak rela dirimu bekerja dengan Cantika, lebih baik ibu pergi saja daripada ibu mengijinkanmu bekerja bersamanya”
“Ibu ?”
Aku tak sanggup lagi berkata-kata, aku tak kuat menyaksikan sosok wanita yang kucintai terbaring lemah sambil berusaha menasehatiku.

Rupanya ibu sudah tahu apa sesungguhnya pekerjaan Cantika. Dia mendapatkan banyak uang dengan menjajakkan tubuhnya di pinggir jalan. Dan tak ubahnya para gadis di kampung sebelah yang selalu berjejer di depan kontrakan dan melakukan negosiasi atas tubuhnya. Mereka berangkat malam, dan keesokan harinya baru pulang kerumah. Memang menghasilkan banyak uang dalam sekejab, tetapi aku tahu itu adalah pekerjaan yang sangat hina. Aku juga berhenti bekerja sebagai penyanyi dangdut mulai malam ini, karena ibuku kini melarangku, mungkin karena ibu sudah tak sanggup lagi dengan celotehan para tetangga. Aku sangat menyayangi ibu, aku rela melakukan apa saja asalkan ibu bahagia. Walaupun besok mungkin kami akan mati kelaparan, karena dengan berhentinya aku sebagai penyanyi dangdut, otomatis aku tidak akan dapat membiayai semua keperluan kami.

“Nak, ingat jangan pernah mengejar dunia dengan mengorbankan akhirat. Jika kamu mengejar dunia, akhirat belum tentu dapat. Tetapi jika kamu mengejar akhirat, niscaya kedua-duanya akan kamu dapatkan.”

“Satu lagi yang harus kamu ingat, jangan pernah kamu tinggalkan sholat ya … karena sholat merupakan pondasi dari agama. Jika pondasinya saja sudah kamu robohkan, agama pasti tidak akan pernah menjadi tempat berlindung bagimu.”
“Ibu … iya bu, Ratih akan selalu ingat pesan ibu, tapi ibu sembuh yaaa …”
“Nak, jaga adikmu ya, bantu dia untuk mengejar cita-citanya. Ibu akan selalu ada di hati kalian, jika kalian berada di jalan yang diridhoi Allah.”
“Asyhadu ala ilaha illallah, Wa asyhadu anna muhamadar rasulullah …. “
“Ibuuuuuuuuuuuuuuuu, jangan tinggalkan Ratih bu …. Ratih sayang sama ibu .....”

Hujan rintik-rintik menjadi saksi kesedihanku malam ini, seorang figur yang menjadi panutanku kini sudah menghadap kepada Sang Ilahi. Lengkap sudah kesedihan yang kualami.
Keesokan harinya ibu telah dimakamkan. Adikku satu-satunya selalu meneteskan air mata. Dulu kami kehilangan sosok ayah yang selalu melindungi kami, tetapi kini kami harus kelihangan figure ibu yang selalu menjadi tauladan dan tak henti-hentinya menasehati kami.
Siang telah berganti malam, tak terasa seharian penuh telah kuhabiskan untuk menguras air mataku, aku selalu larut dalam kesedihan, seakan-akan aku tek rela atas kepergian ibunda tercinta.

Dalam malam yang kelam, aku termenung sendirian di teras rumah, kutinggalkan adikku yang sedang istirahat dan terbaring lemah, mungkin karena kelaparan karena kami seharian belum menyentuh sesuap nasi. Jangankan untuk membeli nasi, lentera saja mungkin hanya bisa menyala sampai tengah malam. Kupandangi bintang-bintang yang bercahaya, aku mencoba menghitungnya namun itu mustahil. Suara jangkrik-jangkrik memecahkan keheningan pada malam ini. Mereka bernyanyi dengan riang gembira seakan-akan tak pernah mengenal yang namanya sedih. Berbeda sekali dengan perasaanku, sampai saat ini aku selalu dalam kesedihan dan entah kapan aku akan mengenal dan menikmati yang namanya kebahagiaan. Tetapi  aku yakin, suatu saat aku pasti akan mendapatkannya.
Tiba-tiba pikiranku tertuju pada sosok ibunda, bukan tak rela atas kepergiannya, tetapi aku teringat pada pesan terakhir beliau,.
“Nak, ingat, jangan pernah mengejar dunia dengan mengorbankan akhirat. Jika kamu mengejar dunia, akhirat belum tentu dapat. Tetapi jika kamu mengejar akhirat, niscaya kedua-duanya akan kamu dapatkan.”

Aku bergegas kebelakang untuk mengambil air wudhu, terasa sejuk dan dingin air tersebut membasahi seluruh lekuk-lekuk muka dan bagian tubuh lain. Sungguh sangat menyejukkan hati. Kemudian kuambil mukenaku yang sudah lama ku simpan dan tak pernah kupakai sejak aku mulai menggeluti profesiku sebagai penyanyi dangdut selama 5 tahun. Mukena tersebut memang sudah terlihat kusam, namun tetap bersih karena tidak pernah kugunakan lagi. Tersimpan rapi di lemari rumah.

Aku merasakan ketenangan dalam hati, ayat-ayat suci kulantunkan setelah melaksanakan sholat, sudah lama pula lidah ini tak mengucapkan kata-kata seindah ini. Air mata turut membasahi seluruh mukaku, menyusuri tiap lekuk-lekuknya dan turut menjadi saksi kembalinya diriku kepada Allah Sang Maha penyayang. Sungguh ketentraman inilah yang kudambakan selama ini. Aku yakin, esok hari dan seterusnya aku akan menjalani hari-hari dengan penuh kebahagiaan. Allah pasti akan menujukkan jalan-Nya padaku.

Keesokan harinya, aku bersiap-siap untuk menjual kue-kue yang sejak subuh ku buat. Kukunakan pakaian rapi lengkap dengan jilbabnya. Mulai sekarang aku bertekad untuk menutup seluruh auratku. Aku berkeliling kampung untuk mencari karunia Allah di muka bumi ini. Saat adzan memanggilku, kuhentikan dulu aktivitasku, dan aku melaksanakan panggilan untuk menghadap Sang Ilahi. Setelah melaksanakan sholat, ku lanjutkan lagi untuk berjualan kue dan berkeliling hingga ujung kampung. Itulah yang kulakukan sehari-hari.

Kini aku bersyukur dengan kehidupanku sekarang, walaupun aku hanya seorang penjual kue keliling, namun aku dapat hidup bahagia. Kue ku selalu terjual habis, dan akupun dapat menyekolahkan adikku hingga lulus. Itulah keberkahan yang kudapatkan sekarang.

Benar kata ibu, jika kita mengejar dunia, maka dunia saja yang kita dapatkan, tetapi jika kita mengejar akhirat, maka kedua-duanya akan kita dapatkan. Ibarat kita menanam, jika kita menanam rumput, maka rumput saja lah yang akan tumbuh. Tetapi jika kita menanam padi, maka padi dan rumput juga pasti akan tumbuh.
Semoga Bermanfaat … !
*****

« Previous
 
Next »
 

1 komentar:

OPO IKI..??

Your comment / Cerpen "Sang Pedangdut"

Komentar Anda Sangat Bermanfaat Bagi Khazanah Ilmu Pengetahuan