Cerpen "Safinah Mahabbah"

1 komentar Minggu, 19 Mei 2013 di 08.22 - Edit entry?

 Safinah Mahabbah
Oleh M. Zuhri Ni’am


“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”
“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”
Alunan Adzan membahana di seluruh penjuru Kota Pontianak khususnya di Jalan Sepakat II yang memiliki beberapa masjid dan surau. Tidak terkecuali pula Surau Umar milik Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya. Sosok-sosok bernyawa tergeletak tak beraturan di depan Televisi. Sungguh dua pasang mata mereka bak di lem hingga mereka tak mendengar alunan indah dari Khozin yang menyeru untuk menghadap kepada sang Ilahi. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tepi mataku untuk menarik  semua bagian mata agar terpejam kembali. Gerak tubuhku juga turut menyempurnakan posisi tidurku agar semakin terasa nyaman. Musim hujan ini memang membuat aku selalu terlena dalam kenikmatan tidur. Cuaca dingin memaksaku untuk bermalas-malasan menghadap kepada Sang Pencipta.
”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”
”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”
Seruan itu semakin terdengar di telingaku. Akhhh, terasa berat sekali mataku ini. Seluruh badanku terasa lelah setelah semalaman mengerjakan tugas Evaluasi Pembelajaran yang harus kukumpulkan hari ini. Aku berusaha mengunci lagi kedua mataku, aku hendak terbang lagi ke alam kenikmatan.
“Asyhadu annaa muhammadar rasululloh ….!”
Akhirnya badanku ku angkat, berusaha untuk bangun, mataku ku celek kan agar tidak terkatup lagi. Ku langkahkan kakiku menuju pintu kamar, kemudian menuju kamar mandi untuk mensucikan diri guna menghadap kepada sang ilahi. Kesejukan semakin menjalar ke seluruh tubuhku tatkala air mulai membasahi tangan dan mukaku. Walaupun dalam suasana dingin mencekam, sebagai seorang muslim aku harus tetap menjalankan kewajibanku. Memang terkadang aku sering menunda dalam melaksanakan sholat, tetapi aku selalu berusaha untuk sholat di awal waktu agar lebih utama. Alhamdulillah, sekarang aku hidup di lingkungan yang taat dalam menjalankan sholat. Bisa dibayangkan bagaimana jika aku hidup di luar asrama, mungkin aku sering meninggalkan sholat karena tidak ada teman yang mengingatkanku. Aku bersyukur bisa tinggal di asramaku tercinta Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya.
Perkenalkan namaku Amri. Aku seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Pontianak. Aku juga salah seorang putra daerah yang akan turut berjuang untuk Kubu Raya yang terdepan dan berkualitas bersama organisasi yang aku banggakan yaitu Primaraya (Perhimpunan Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya).

Cerpen "Sang Pedangdut"

1 komentar Jumat, 17 Mei 2013 di 23.13 - Edit entry?

Sang Pedangdut
Oleh M. Zuhri Ni’am

Aku sedang membeli beberapa bahan makanan untuk membuat kue yang akan ku jual keliling dari desa ke desa. Ketika kudengar beberapa pemuda nongkrong di bawah pohon rambutan sedang bermain kartu, melontarkan beberapa kalimat yang sungguh membuatku jengkel dan kesal …
“Goyangannya memang kurang mantab, tapi keseksiannya itu lho bro, membuat mataku pusing…”
Kata-kata tersebut di sambut oleh gelak tawa beberapa pemuda lainnya.

“Kalau dilihat dari kejauhan nampaknya seorang gembel, tapi begitu dilihat dari dekat, wah seperti bidadari yang menggoda hatiku …” hahahaha

Mulutnya seperti lupa diri, tawaannya semakin cetar membahana hingga kerongkongannya memaksa untuk keluar melalui mulutnya yang lebar. Sambil menghisap batang rokoknya, pemuda tersebut melanjutkan celotehannya.

“Kalau aku punya uang, akan ku beli dirimu hingga kau pasrah padaku …” hahaha

Mataku seakan ingin sekali menumpahkan air mata kekesalan, ku coba untuk menutup kedua lubang telingaku. Telingaku panas karena tuduhan mereka yang membabi buta sungguh menyakitkan hati. Aku bukanlah seorang pelacur yang tiap malam berjejer di pinggir jalan untuk menjajakkan tubuhnya, tetapi aku hanyalah seorang penyanyi dangdut dari panggung ke panggung demi menghidupi keluargaku. Memang aku selalu memakai pakaian yang seksi ketika bernyanyi, itu semata-mata kulakukan agar aku selalu diundang untuk bernyanyi. Jika tidak, aku dan keluargaku akan mati kelaparan. Belum lagi mengurusi ibuku yang kini sedang sakit diabetes. Adikku yang kini sedang menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar. Aku harus bekerja keras untuk menghidupi mereka karena akulah tulang punggung mereka. Walaupun celotehan tetangga dan pemuda-pemuda desa selalu mengusik ketentraman telingaku. Tak apalah, aku selalu mencoba untuk menyumbat telingaku dengan semangat dan ketegaran.  Aku mempercepat aktivitas belanjaku sore itu sambil menutup telinga.